Monday, 9 April 2018
Melayani Gejolak ABG Labil
Villa itu terletak di bagian tengah sebidang tanah perbukitan yg luasnya hampir 2 hektar. Dari jauh, villa itu terlihat asri karena dinding luarnya dihiasi dgn batu-batu pualam dan marmer serta beberapa ornamen kayu jati. Di bagian depan dan belakang, berbatasan dgn villa-villa di sekitarnya, tumbuh beberapa pohon pinus yg lebat. Tingginya mencapai 4 hingga 5 meter. Halaman di sekelilingnya terlihat hijau karena ditumbuhi oleh rumput yg terpangkas rapi. Beberapa batu alam berwarna abu-abu dan cokelat tua dgn berbagai bentuk dan ukuran tergeletak menghiasi halaman yg luas itu. Di pojok belakang sebelah barat terdapat sebuah rumah kecil yg dihuni oleh penjaga villa
Bangunan villa itu tdk terlalu besar. Di lantai 1 hanya ada sebuah kamar tidur utama serta sebuah ruang keluarga dan dapur. Sedangkan di lantai 2 ada dua buah kamar tidur dan ruang kosong yg tembus hingga ke lantai 1. Tak banyak furniture yg melengkapi villa mungil dan mewah itu. Dan hampir semuanya terbuat dari kayu jati berukir. Berbagai bentuk ukiran terasa mendominasi isi villa. Termasuk bingkai cermin berukuran besar yg menempel pada dinding kamar tidur utama. Nuansa artistik terasa sangat menonjol di dlm dan luar villa.
Lisna baru saja tiba di villa itu kira-kira 10 menit yg lalu. Setelah meletakkan tasnya di teras dan memberi beberapa instruksi kepada lelaki tua penjaga villa, ia segera melangkah ke kamar tidur depan di lantai 2. Ditanggalkannya celana jeans dan t-shirt yg dipakainya sejak dari Jakarta.
Sambil berdiri di depan cermin, dikenakannya sebuah kimono. Sejenak, ia ragu melilitkan tali kimono itu di pinggangnya. Tp akhirnya, sambil tersenyum, bra dan celana dlm mini yg dikenakannya pun ditanggalkan pula. Ia tersenyum ketika mengikat tali kimono itu. Senyum yg menyimpan sebuah rencana, dan sekaligus senyum untuk dirinya sendiri karena tak ada lagi yg tersembunyi di balik kimono itu.
Lisna berdiri di balkon depan yg menghadap ke timur. Sejak kecil ia suka menghabiskan waktunya di balkon itu. Terutama bila sore hari, ia suka menatap embun tipis yg perlahan-lahan turun dari atas dan mulai bertebaran di halaman. Embun itu kadang-kadang sirna tertiup angin tetapi kadang-kadang angin bertiup mendorong segerombol embun yg sebagian di antaranya tersangkut di daun-daun pohon pinus.
Kira-kira satu jam kemudian, ketika sore berubah menjadi senja, embun tipis berwarna putih itu mulai menyelimuti pucuk-pucuk pinus. Diam tak beranjak. Hanya beberapa gerombol di atas rumput yg terlihat masih bergerak tertiup angin. Dan ketika senja sirna, lampu-lampu taman yg bertebaran di halaman pun tak berdaya mengusir embun yg menyelimuti villa dan sekelilingnya.
Lisna melirik jam tangannya. Hm, kurang lebih 30 menit lagi Eki akan tiba, katanya dlm hati. Setiap kali menyebut nama lelaki itu jantungnya terasa berdebar. Walau lelaki itu 15 tahun lebih tua dari usianya, tetapi ia merasa sangat nyaman bila berada di dekatnya. Lelaki yg selalu memanjakannya, yg berani membantah tetapi bila terus didesak akhirnya akan menuruti kemauannya. Ia tersenyum dikulum, ‘Eki memang selalu memperlakukanku seolah aku adalah satu-satunya benda berharga baginya’ gumam gadis remaja itu. Kemudian ia teringat beberapa peristiwa ‘nakal’ yg membuatnya merasa sangat dimanjakan.
Saat itu mereka sedang menikmati santap malam di sebuah restoran yg terkenal dgn sajian ‘rib roast’-nya. Mereka duduk berdampingan pada sebuah meja yg posisinya di sudut dan menghadap ke bagian tengah restoran. Sesekali mereka terpaksa berbisik untuk mengalahkan suara musik dan lagu-lagu merdu Frank Sinatra. Ketika ia menggigit rib yg terakhir, setetes kecap jatuh ke lututnya. Ia memang sengaja tdk menggunakan serbet untuk menutupi pahanya.
Sejak merasakan nikmatnya lidah Eki saat menjilati paha dlm dan pangkal pahanya, ia selalu menggunakan rok mini yg bagian bawahnya lebar. Ia selalu ingin memperlihatkan sepasang pahanya yg mulus. Bila duduk, rok mini itu semakin tertarik sehingga hanya kira-kira 10 cm saja yg menutupi pahanya. Ia tdk khawatir akan ‘ditonton’ tamu-tamu lainnya karena ada taplak meja yg menghalangi, taplak yg menjuntai hingga hampir menyentuh lantai.
“Eki, jangan dilap pakai tissue,” katanya ketika melihat Eki menjumput selembar tissue.
“Jadi pakai apa, Sayang.”
“Pakai lidah yg suka ‘mimik’ pipis Lisna!”, bisiknya manja.
Eki tertegun. Ditatapnya mata gadis belia itu seolah sedang mencari ketegasan atas kalimat yg baru saja didengarnya. Ia pun terkesima mendengar kata ‘mimik’. Kata yg lebih mesra sebagai pengganti kata ‘minum’. Selintas ia teringat ketika pertama kali mencumbui meqi gadis itu. Sangat sulit dilupakannya kehangatan yg mengalir dari bibir meqi gadis itu ketika menjepit lidahnya.
Jepitan yg disertai denyutan-denyutan meqi yg hampir mencapai orgasmenya. Denyutan-denyutan yg membuat ia semakin rakus menghisap-hisap lendir di meqi itu. Dan tak lama kemudian, ia merasakan segumpal lendir orgasme mengalir membasahi kerongkongannya. Dan setelah menjilati bibir luar meqi gadis itu hingga bersih, ia mendengar gadis belia itu bertanya dgn polos,
“Kok pipis Lisna diminum?”
“Kok bengong, Eki. Nggak mau ya?”
“Kamu memang nakal dan kadang-kadang keterlaluan.”
“Udah nggak sayang sama Lisna, ya!”
“Sayangnya tetap selangit. Tp ini di restoran. Di tempat umum!”
“Biarin!” kata gadis itu setengah merajuk.
“Entar dilihat orang lain. Malu ‘kan kalau ketahuan.”
“Biarin!”
“Biarin?”
“Paling juga mereka jadi iri. Yg laki-laki ingin jadi Eki, yg perempuan ingin jadi Lisna!” jawab gadis itu sambil tertawa kecil. Tawa yg menggemaskan!
Sekilas, Eki memandang ke sekeliling ruangan. Tak ada tamu yg sedang memandang ke arah mereka. Pelayan-pelayan restoran pun terlihat sibuk melayani tamu-tamu. Dadanya berdebar-debar. Hatinya terpancing untuk mencoba. Lalu dgn cepat ia menunduk dan menjilat. Dan dgn cepat pula ia mengangkat kepalanya kembali. Jantungnya masih berdebar-debar ketika pandangannya menyapu sekeliling ruangan. Tak ada perubahan. Tak ada seorang pun yg memandangnya!
Lisna tertawa kecil. Dicubitnya pinggang guru matematikanya itu dgn manja. Sejenak mereka saling tatap, kemudian serentak tertawa renyah. Tak lama kemudian, gadis belia itu sengaja mengerak-gerakkan kakinya. Sesekali sebelah kakinya agak diangkat hingga roknya yg mini semakin tersingkap. Ia semakin bersemangat menggerak-gerakkan kakinya ketika memergoki Eki tertegun menatap keindahan pahanya. Gerakannya baru berhenti setelah ujung roknya tersangkut di pangkal paha. Ia merasa yakin bahwa G-string yg dipakainya telah terlihat mengintip dari pangkal pahanya.
“Kelihatan nggak?”
“Sedikit!”
“Warna apa?”
“Pink!”
“Suka?”
“Suka banget!”
“Cium dong!”
“Ha?! Di sini?”
“Hmm!!”
Jantung Eki kembali berdebar-debar. Tantangan, katanya dlm hati. Tantangan dari seorang gadis belia yg cantik, seksi, masih perawan, dan sekaligus nakal! Itulah salah satu sebab yg membuat ia selalu ingin memanjakan gadis itu. Ide-idenya yg nakal kadang-kadang menciptakan sensasi. Menciptakan gairah untuk menaklukkan tantangan yg disodorkannya. Ia memang belum pernah melakukan hal itu. Dan ia pun yakin bahwa gadis itu -dlm keramaian publik- belum pernah mendapat ciuman di pangkal pahanya. Ia menarik nafas panjang dan berusaha menenteramkan debar-debar jantungnya. Sekilas, ia kembali memandang tamu-tamu di sekelilingnya. Setelah yakin tak ada yg memperhatikan, ia menunduk dan mengecup G-string dari sutera itu. Kecupan yg persis di belahan bibir meqi!
Lisna menggelinjangkan pinggulnya. Ia hampir memekik. Tp karena jari-jari tangannya segera menutupi mulutnya, pekikan itu hanya terdengar lemah. Suara pekikan itu tersangkut di lehernya.
“Suka?” tanya Eki sambil mengangkat kepalanya.
“Suka banget! Nikmat dan mendebarkan!”
“Mau lagi?”
“Entar ketahuan.”
“Biarin!” jawab Eki sambil tersenyum.
“Benar?”
“Hmm!”
“Tp mata Eki harus tertutup. Dan setelah dikecup, dijilat ya,” bisik gadis itu.
Eki terdiam sejenak, lalu bertanya..
“Kok harus menutup mata?”
“Tentu ada alasannya.”
“Kalau hanya mengecup dan menjilat, aku pasti mau.”
“Kalau matanya nggak tertutup, Lisna yg nggak mau!” kata gadis itu merajuk manja.
Eki terdiam kembali. Tp tak lama kemudian ia menjawab..
“Oke,” katanya sambil mengangguk. Gadis itu tersenyum manis.
“Lihat ke Lisna dan tutup matanya. Biar Lisna yg mengawasi mereka,” katanya sambil menolehkan kepalanya ke arah tamu-tamu di restoran itu.
“Nanti kalau Lisna bilang ‘cium’ baru menunduk ya.” sambungnya sambil membuka kedua lututnya lebih lebar. Lutut sebelah kirinya agak diangkat agar pangkal pahanya cukup terbuka untuk menampung sebuah kepala.
“OK.” jawab Eki sambil memejamkan matanya. Tak lama kemudian, ia mendengar bisikan di telinganya..
“Sekarang cium, Eki!”
Dgn cepat Eki menunduk. Ia merasakan jari-jari tangan gadis itu menekan bagian belakang kepalanya, menuntun agar bibirnya mendarat di tempat yg tepat. Dan.., sejenak ia terkesima setelah bibirnya mendarat di pangkal paha gadis itu. Aroma yg sudah sangat dikenalnya tiba-tiba terasa langsung menyergap lubang hidungnya. Tp karena khawatir bila harus menunduk terlalu lama di balik meja, ia segera mencium pangkal paha gadis itu. Ia sangat terkejut karena bibirnya bersentuhan langsung dgn bibir meqi yg lembut. Meqi yg hangat dan sedikit lembab.
Secara bergantian, dgn cepat, dikulumnya kedua bibir luar meqi itu. Lalu dijulurkannya lidah untuk menjilat celah sempit di antara ke dua bibir itu. Lidahnya segera tenggelam dlm kehangatan yg licin. Jilatannya tajam seperti mata pisau yg mengiris mentega. Dan.., seolah ada alarm berbunyi di telinganya ketika ia merasakan tarikan rambut di bagian belakang kepalanya. Ia segera mengangkat wajahnya sambil membuka mata. Sebelum kepalanya benar-benar tegak, ia masih sempat melihat jari telunjuk gadis itu melepaskan tarikan tepi G-stringnya agar meqinya tertutup kembali.
Sejenak mereka saling tatap. Di bola mata mereka tersirat binar-binar birahi. Dan sambil tertawa kecil, keduanya berangkulan dgn mesra!
Lisna masih berdiri di balkon. Tatapannya menerawang jauh dan terbentur pada lampu-lampu villa-villa di sekitar villanya. Ia menarik nafas panjang. Udara segar yg bertiup di sekitar Puncak Pass terasa sejuk memenuhi rongga dadanya. Hembusan udara mulai terasa dingin di kulitnya. Tp ia menyukai dinginnya udara itu, terutama ketika berhembus menerpa bagian bawah pusarnya. Pangkal pahanya terasa sejuk. Dinginnya udara meredakan letupan-letupan gairah yg sempat memanas ketika ia teringat pada ciuman dan jilatan Eki di restoran rib roast itu.
Lisna kembali melihat jam tangannya. Tak lama lagi Eki akan tiba, katanya dlm hati. Semakin dekat waktu yg telah mereka sepakati, semakin gelisah ia menunggu. Ia merasa lebih gelisah daripada biasanya karena ia sudah memutuskan bahwa malam itu ia akan mengucapkan “selamat tinggal masa remaja!” Dan itu akan ia ucapkan tepat ketika ia berusia 17 tahun. Usia untuk menjadi seorang wanita! Masih terbayang dlm ingatannya raut wajah Eki yg terlihat bingung ketika menerima denah jalan menuju villa. Raut wajah itu semakin bingung ketika ia mengatakan,
“Nanti malam, di villa, Lisna akan memberikan sebuah hadiah yg sangat istimewa.”
Labels:
Cerita Sex
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment